Pada awal sejarahnya ilmu
pengetahuan hanya dipraktekkan oleh ilmuan amatir atas dasar hobi. Namun, dalam
perkembangan berikutnya, ilmu pengetahuan mulai terinstitusionalisasi (institusionalization of science).
Dimulai dengan berdirinya beberapa organisasi yang menjadi wadah pertemuan para
scientist untuk
mengembangkan keilmuannya.Tahap selanjutnya, adalah tahapan academization of science, dimana
dalam tahapan ini, ilmu pengetahuan terpusat pada kegiatan akademik
universitas.
Terlepas
dari pola pengembangannya di atas, sejarah telah mencatat bahwa ilmu merupakan
pendobrak pintu kebodohan yang mengunci kemajuan dan peradaban manusia.
Rangkaian isu “irrasional” yang melilit kehidupan manusia, sedikit demi sedikit
terkikis bersamaan dengan derasnya arus penemuan-penemuan yang berguna untuk
kemudahan hidup manusia. Pada tataran aksiologis, ilmu merupakan hasil kreasi
manusia yang diciptakan guna memudahkan kehidupan manusia.
Secara epistemologis dapat
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan yang ada saat ini merupakan hasil dari
akumulasi pengetahuan yang terjadi dengan pertumbuhan, pergantian dan
penyerapan teori dari masa ke masa. Kemunculan teori baru yang menguatkan teori
lama akan memperkuat citra sains normal. Tetapi, anomali dalam riset ilmiah
yang tidak bisa diselesaikan oleh paradigma sebagai referensi riset saja,
sehingga menyebabkan berkembangnya paradigma baru yang bisa memecahkan masalah
dan membimbing riset berikutnya (melahirkan revolusi sains). Tumbuh-kembangnya
teori dan pergeseran paradigma merupakan pola perkembangan yang biasa dari ilmu
yang telah matang. Selain itu, berkembangnya peralatan analisis juga mendorong
semakin berkembangnya ilmu.
Sehingga dengan demikian,
perkembangan ilmu pengetahuan hingga seperti sekarang ini tidaklah berlangsung
secara mendadak, melainkan melalui proses bertahap, dan evolutif. Karenanya,
untuk memahami sejarah perkembangan ilmu pengetahuan harus melakukan pembagian
atau klasifikasi secara periodik. Namun ironisnya, dalam pemaparan sejarah yang
ada, khususnya sejarah ilmu pengetahuan, menurut berbagai sumber menyimpulkan
bahwa terjadi distorsi terhadap fakta sejarah. Ada semacam upaya penghapusan
jejak hasil peradaban dan kemajuan komunitas tertentu yang pernah menorehkan
keilmuan yang begitu gemilang. Dalam hal ini, sejarah peradaban dan keemasan
Islam yang menjadi “korban”, sehingga pada akhirnya memicu protes dari kalangan
Ilmuan Islam.
Berkaitan dengan di atas,
urgensi pemaparan sejarah ilmu pengetahuan merupakan sebuah kemestian. Sehingga
proses kesinambungan keilmuan dari masa ke masa akan mudah ditelusuri. Selain
itu, akan memperjelas rantai ilmu dalam lingkaran sejarah yang mengitarinya,
mengingat akhir-akhir ini ada pihak tertentu yang sengaja melepas tanggung
jawab moralnya sebagai akademisi untuk enggan bersikap objektif dalam pemaparan
sejarah. Padahal, idealnya sejarah adalah rekaman tentang semua rentetan
peristiwa yang telah terjadi, yang berfungsi sebagai pengungkap segala sesuatu
sesuai dengan fakta yang ada tanpa distorsi sedikitpun, tetapi pada kenyataannya
ia hanya mengungkap sebagian rentetan peristiwa tersebut dan tidak bisa lepas
sepenuhnya dari rekayasa yang biasanya dilakukan oleh penguasa politik dan
kepentingan.
Dengan demikian, pemaparan
perkembangan ilmu dibawah ini akan memuat sejarah ilmu secara objektif,
menyimpulkan dari berbagai sumber yang dapat dipertanggungjawabkan
kepercayaannya. Untuk memudahkan penelusuran, akan dibagi berdasarkan periodik,
mengingat dalam setiap periode sejarah pekembangan ilmu pengetahuan menampilkan
ciri khas tertentu. Perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu
kepada peradaban Yunani. Periodisasi perkembangan ilmu dimulai dari peradaban
Yunani dan diakhiri pada zaman kontemporer, secara ringkas disusun sebagai
berikut:
B. PERKEMBANGAN ILMU DARI MASA KE MASA
Secara garis besar, Amsal
Bakhtiar membagi periodisasi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menjadi empat
periode: pada zaman Yunani kuno, pada zaman Islam, pada zaman renaisans dan
modern, dan pada zaman kontemporer. Menurut George J. Mouly, permulaan ilmu
dapat diusut sampai pada permulaan manusia. Tak diragukan lagi bahwa manusia
purba telah menemukan beberapa hubungan yang bersifat empiris yang memungkinkan
mereka untuk mengerti keadaan dunia. Masa manusia purba dikenal juga dengan
masa pra-sejarah.
Terlepas dari perbedaan
pendapat mengenai awal periodisasi ilmu di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa
ilmu lahir seiring dengan adanya manusia di muka bumi, hanya saja penamaan
ilmu-ilmu itu biasanya muncul belakangan. Dalam hal ini, George J. Mouly
berbicara asal muasal ilmu kaitannya dengan manusia, setidaknya ia memaparkan
hubungan antara ilmu dan manusia seperti ayam dan telur. Amsal Bakhtiar memilih
untuk memulai berbicara riwayat ilmu sejak ilmu mulai mudah
“terindetifikasi”. Dibawah ini akan memaparkan perkembangn ilmu
pengetahuan sejak diputuskannya penamaan ilmu, yaitu sejak zaman Yunani.
1. Ilmu dalam Peradaban Zaman Kuno
a. Ilmu pada Zaman Yunani
Di dalam banyak literatur
menyebutkan bahwa periode Yunani merupakan tonggak awal berkembangnnya ilmu
pengetahuan dalam sejarah peradaban umat manusia. Perkembangan ilmu ini
dilatarbelakangi dengan perubahan paradigma dan pola pikir yang berkembang saat
itu. Sebelumnya bangsa Yunani masih diselemuti oleh pola pikir mitosentris,
namun pada abad ke 6 SM di Yunani lahirlah filsafat yang dikenal
dengan the greek
miracle. Dengan paradigma ini, ilmu pengetahuan berkembang sangat
pesat karena menjawab persoalan disekitarnya dengan rasio dan meninggalkan
kepercayaan terhadap mitologi atau tahayul yang irrasional.
Sebagaimana yang dikatakan oleh
George J. Mouly, dia membagi perkembangan ilmu pada tahap animisme, ilmu
empiris dan ilmu teoritis. Pada tahap animisme, manusia menjelaskan gejala yang
ditemuinya dalam kehidupan sebagai perbuatan dewa-dewi, hantu dan berbagai
makhluk halus. Pada tahap inilah pola pikir mitosentris masih sangat kental
mewarnai pemikiran bangsa Yunani sebelum berubah menjadi logosentris.
Seiring dengan berkembangannya
waktu, filsafat dijadikan sebagai landasan berfikir oleh bangsa Yunani untuk
menggali ilmu pengetahuan, sehingga berkembang pada generasi-generasi
setelahnya. Ia ibarat pembuka pintu-pintu aneka ragam disiplin ilmu yang
pengaruhnya terasa hingga sekarang. Karena itu, periode perkembangan filsafat
Yunani merupakan entri poin untuk memasuki peradaban baru umat manusia. Inilah
titik awal manusia menggunakan rasio untuk meneliti dan sekaligus
mempertanyakan dirinya dan alam jagad raya. Jones dalam A History of Western,
mengatakan bahwa awal dan akar kebangkitan filsafat dan sains Barat seperti
sekarang ini adalah warisan intelektual Yunani.
Para ahli pada zaman itu,
mencoba membuat konsep tentang asal muasal alam. Corak dan sifat dari
pemikiranya untuk membangun merangkai bangunan ilmu bersifat mitologik
(keteranganya didasarkan atas mitos dan kepercayaan saja). Namun setelah adanya
demitologisasi oleh para pemikir alam seperti Thales (624-548 SM), Anaximenes
(590-528 SM), Phitagoras (532 SM), herakliotos (535-475 SM), Parminides
(540-475 SM) serta banyak lagi pemikir lainya, maka pemikiran filsafat
berkembang secara cepat kearah puncaknya.
Thales, yang dikenal dengan
filosof tertua, mengucapakan “semua adalah air”, dengan kata lain, dia
berpendapat bahwa asal alam adalah air. Anaximandros mencoba menjelaskan bahwa
substansi pertama itu bersifat kekal, ada dengan sendirinya. Dia mengatakan itu
udara, udara merupakan sumber segala kehidupan. Heraklitos melihat alam semesta
selalu dalam keadaan berubah. Baginya kosmos tidak pernah berhenti (diam); ia
selalu berubah, dan bergerak. Pernyataan “semua mengalir” berarti semua berubah
bukanlah pernyataan sederhana.
Bertolak belakang dengan
Heraklitos, Parmenides berpendapat bahwa realitas merupakan keseluruhan yang
bersatu, tidak bergerak dan tidak berubah. Phytagoras berusaha menemukan kunci
bagi harmoni universal, baik yang bersifat alamiah maupun sosial, dan
personalitas bilangan. Ia berpendapat bahwa bilangan adalah unsur utama alam
dan sekaligus menjadi ukuran. Unsur-unsur bilangan itu adalah genap dan ganjil,
terbatas dan tidak terbatas. Jasa Phytagoras sangat besar dalam pengembangan
ilmu, terutama ilmu pasti dan ilmu alam. Ilmu yang dikembangkan kemudian hari
sampai hari ini sangat bergantung pada pendekatan matematika.
Jadi setiap filosof mempunyai
pandangan berbeda mengenai seluk beluk alam semesta. Perbedaan pandangan bukan
selalu berarti negatif, tetapi justru merupakan kekayaan khazanah keilmuan.
Terbukti sebagian pandangan mereka mengilhami generasi setelahnya.
Ravertz dalam bukunya Filsafat Ilmu menyebutkan,
paling tidak ada dua bidang kelimuan yang dipelajari yang pada waktu itu
mendekati kemapanannya, pertama, ilmu
kedokteran, praktek yang setidaknya mencoba menerapkan metode yang menekankan
observasi, dan kedua, geometri
yang sedang mengumpulkan setumpukan hasil di seputar hubungan-hubungan antara
ilmu hitung yang disusun secara khusus.
Periode setelah Socrates
disebut dengan zaman keemasan kelimuan bangsa Yunani, karena pada zaman ini
kajian-kajian kelimuan yang muncul adalah perpaduan antara filsafat alam dan
filsafat tentang manusia. Tokoh yang sangat menonjol adalah Plato (429-347 SM),
yang sekaligus murid Socrates.[15]
Plato, yang hiudp di awal abad ke-4 S.M., adalah seorang filsuf earliest
(paling tua) yang tulisan-tulisannya masih menghiasi dunia akademisi hingga
saat ini. Karyanya Timaeus merupakan
karya yang sangat berpengaruh di zaman sebelumnya; dalam karya ini ia membuat
garis besar suatu kosmogoni yang meliputi teori musik yang ditinjau dari sudut
perimbangan dan teori-teori fisika dan fisiologi yang diterima pada saat itu.
Masa keemasan kelimuan bangsa
Yunani terjadi pada masa Aristoteles (384-322 SM). Ia adalah murid Plato,
walaupun ia tidak sepakat dengan gurunya mengenai soal-soal mendasar.
Khususnya, ia menganggap matematika sebagai suatu abstraksi dari kenyataan
ilmiah. Dan ia berhasil menemukan pemecahan persoalan-persoalan besar filsafat
yang dipersatukannya dalam satu sistem: logika, matematika, fisika, dan
metafisika. Logika Aristoteles berdasarkan pada analisis bahasa yang disebut silogisme. Pada dasarnya silogisme terdiri dari tiga
premis:
1.
Semua manusia akan mati (premis mayor).
2.
Socrates seorang manusia (premis minor).
3.
Socrates akan mati (konklusi).
b. Ilmu pada Zaman Romawi
Ilmu pengetahuan yang pernah
ditorehkan oleh Bangsa Romawi tidak bisa dilepaskan dari bangunan ilmu
pengetahuan yang telah disumbangkan oleh bangsa Yunani. Di dalam banyak
literatur yang ada, disebutkan bahwa bangsa Romawi merupakan bangsa yang
pertama kali mengaplikasikan teori-teori yang pernah dirumuskan oleh bangsa
Yunani, sehingga mata rantai kelimuan yang mulai memudar yang seolah-olah putus
dalam sejarah perkambangan ilmu pengetahuan bangsa Yunani menjadi tumbuh
kembali. Sehingga di dalam lapangan inovasi ilmu pengetahuan, bangsa
Romawi tidak banyak melahirkan para pemikir yang ulung, konseptor yang handal,
dan perumus teori dalam rangka melebarkan sayap ilmu pengetahuan. Dengan kata
lain, bangsa ini tidak menekankan soal-soal praktis dan mengabaikan teori
ilmiah, sehingga pada masa ini tidak muncul ilmuwan yang terkemuka. Memang ada
dua ilmuan yang sangat besar yang hidup selama pemerintahan Marcus Aurelius
pada abad kedua masehi, namun keduanya adalah bangsa Yunani.Namun yang perlu
dicatat bahwa bangsa Romawi membuat pemikiran spekulatif Yunani menjadi praktis
dan dapat diterapakan dengan mudah.
Kendati demikian, bangsa Romawi
bukan berarti tidak memiliki kontribusi dalam pengembangan ilmu
pengetahuan. Sejarah mencatat bahwa bangsa Romawi memiliki kemahiran
dalam kemampuan keinsinyuran dan keterampilan ketatalaksanaan serta mengatuur
hukum dan pemerintahan.
Sumbangan terbesar bangsa
Romawai kepada peradaban manusia terutama dalam bidang pemikiran sistem hukum
dan lembaga-lembaga politik, ada tiga bentuk pemikiran hukum Romawi yang banyak
diadopsi para pemikir Barat,antara lain : Ius Civile, Ius Gentium, Ius Naturale. Dari segi pemikiran
ilmu politik, Romawi memberikan pemahaman tentang teori imperium, antara lain[20]
:
1.
Kekuasaan dan otoritas negara
2.
equal rights (Persamaan hak politik)
3.
Governmental Contract (Kontrak Pemerintah)
4.
Pengadaptasian kekuasaan dan keagamaan[21]
Para sejarawan berspekulasi
tentang penyebab kegagalan orang Romawi di bidang pengembangan ilmu. Ada yang
mencoba melihat perbudakan yang menghambat dorongan bagi industri, sebagai
penyebabnya.[22]
2. Ilmu dalam Peradaban Abad Pertengahan
Dominasi para teolog pada masa
ini mewarnai aktivitas ilmiah pergerakan ilmu pengetahuan. Hal ini dapat
dilihat dari semboyan yang berlaku bagi ilmu pada masa ini adalah ancillla theologia atau abdi
agama.[23]
Atau dengan kata lain, kegiatan ilmiah diarahkan untuk mendukung kebenaran
agama. Agama Kristen menjadi problema kefilsafatan karena mengajarkan bahwa
wahyu Tuhanlah yang merupakan kebenaran sejati.[24]
Inilah yang dianggap sebagai salah satu penyebab masa ini disebut dengan Abad
gelap (dark age).
Usaha-usaha menghidupkan kembali keilmuan hanya sesekali dilakukan oleh
raja-raja besar seperti Alfred dan Charlemagne.[25]
Namun di Timur terutama di
wiayah kekuasaan Islam justru terjadi perkembangan ilmu pengetahuan yang pesat.
Di saat Eropa pada zaman Pertengahan lebih berkutat pada isu-isu keagamaan,
maka peradaban dunia Islam melakukan penterjemahan besar-besaran terhadap
karya-karya filosof Yunani, dan berbagai temuan di lapangan ilmiah lainnya.[26]
Potret lmu Pengetahuan Periode Islam
Menurut Harun Nasution,
keilmuan berkembang pada zaman Islam klasik (650-1250 M). Keilmuan ini
dipengaruhi oleh persepsi tentang bagaimana tingginya kedudukan akal seperti
yang terdapat dalam al-Qur`an dan hadis. Persepsi ini bertemu dengan persepsi
yang sama dari Yunani melalui filsafat dan sains Yunani yang berada di
kota-kota pusat peradaban Yunani di Dunia Islam Zaman Klasik, seperti
Alexandria (Mesir), Jundisyapur (Irak), Antakia (Syiria), dan Bactra (Persia).[27]
W. Montgomery Watt menambahkan lebih rinci bahwa ketika Irak, Syiria, dan Mesir
diduduki oleh orang Arab pada abad ketujuh, ilmu pengetahuan dan filsafat
Yunani dikembangkan di berbagai pusat belajar. Terdapat sebuah sekolah terkenal
di Alexandria, Mesir, tetapi kemudian dipindahkan pertama kali ke Syiria, dan
kemudian –pada sekitar tahun 900 M– ke Baghdad.[28]
Sekitar abad ke 6-7 Masehi obor
kemajuan ilmu pengetahuan berada di pangkuan perdaban Islam. Dalam lapangan
kedokteran muncul nama-nama terkenal seperti : Al-Ḥāwī karya al-Rāzī
(850-923) merupakan sebuah ensiklopedi mengenai seluruh perkembangan ilmu
kedokteran sampai masanya.[29]
Rhazas mengarang suatu Encyclopedia ilmu kedokteran dengan judul Continens,
Ibnu Sina (980-1037) menulis buku-buku kedokteran (al-Qonun) yang menjadi
standar dalam ilmu kedokteran di Eropa. Al-Khawarizmi (Algorismus atau
Alghoarismus) menyusun buku Aljabar pada tahun 825 M, yang menjadi buku standar
beberapa abad di Eropa. Ia juga menulis perhitungan biasa (Arithmetics), yang menjadi
pembuka jalan penggunaan cara desimal di Eropa untuk menggantikan tulisan
Romawi. Ibnu Rushd (1126-1198) seorang filsuf yang menterjemahkan dan
mengomentari karya-karya Aristoteles. Al Idris (1100-1166) telah membuat 70
peta dari daerah yang dikenal pada masa itu untuk disampaikan kepada Raja Boger
II dari kerajaan Sicilia.[30]
Dalam bidang kimia ada Jābir
ibn Ḥayyān (Geber) dan al-Bīrūnī (362-442 H/973-1050 M). Sebagian karya Jābir
ibn Ḥayyān memaparkan metode-metode pengolahan berbagai zat kimia maupun metode
pemurniannya. Sebagian besar kata untuk menunjukkan zat dan bejana-bejana kimia
yang belakangan menjadi bahasa orang-orang Eropa berasal dari karya-karyanya.
Sementara itu, al-Bīrūnī mengukur sendiri gaya berat khusus dari beberapa zat
yang mencapai ketepatan tinggi.
Selain disiplin-disiplin ilmu
di atas, sebagian umat Islam juga menekuni logika dan filsafat. Sebut saja
al-Kindī, al-Fārābī (w. 950 M), Ibn Sīnā atau Avicenna (w. 1037 M), al-Ghazālī
(w. 1111 M), Ibn Bājah atau Avempace (w. 1138 M), Ibn Ṭufayl atau Abubacer (w.
1185 M), dan Ibn Rushd atau Averroes (w. 1198 M). Menurut Felix Klein-Franke,
al-Kindī berjasa membuat filsafat dan ilmu Yunani dapat diakses dan membangun
fondasi filsafat dalam Islam dari sumber-sumber yang jarang dan sulit, yang
sebagian di antaranya kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh al-Fārābī.
Al-Kindī sangat ingin memperkenalkan filsafat dan sains Yunani kepada sesama
pemakai bahasa Arab, seperti yang sering dia tandaskan, dan menentang para
teolog ortodoks yang menolak pengetahuan asing.[32]
Menurut Betrand Russell, Ibn Rushd lebih terkenal dalam filsafat Kristen
daripada filsafat Islam. Dalam filsafat Islam dia sudah berakhir, dalam
filsafat Kristen dia baru lahir. Pengaruhnya di Eropa sangat besar, bukan hanya
terhadap para skolastik, tetapi juga pada sebagian besar pemikir-pemikir bebas
non-profesional, yang menentang keabadian dan disebut Averroists. Di Kalangan filosof
profesional, para pengagumnya pertama-tama adalah dari kalangan Franciscan dan
di Universitas Paris. Rasionalisme Ibn Rushd inilah yang mengilhami orang Barat
pada abad pertengahan dan mulai membangun kembali peradaban mereka yang sudah
terpuruk berabad-abad lamanya yang terwujud dengan lahirnya zaman pencerahan
atau renaisans.[33]
Pada zaman itu bangsa Arab juga
menjadi pemimpin di bidang Ilmu Alam. Istilah zenith, nadir, dab azimut
membuktikan hal itu. Angka yang masih dipakai sampai sekarang, yang berasal
dari India telah dimasukkan ke Eropa oleh bangsa Arab. Sumbangan sarjana Islam
dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bidang, yaitu :[34]
1.
Menerjemahkan peninggalan bangsa Yunani dan
menyebarluaskan sedemikian rupa, sehingga dapat dikenal dunia Barat seperti
sekarang ini.
2.
Memperluas pengamatan dalam lapangan ilmu
kedokteran, obat-obatan, astronomi, ilmu kimia, ilmu bumi, dan ilmu
tumbuh-tumbuhan.
3.
Menegaskan sistem desimal dan dasar-dasar
aljabar.
3. Ilmu pada Zaman Renainsans (14-16 M)
Renaisans merupakan era sejarah
yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang mengandung arti bagi perkembangan
ilmu. Orang pertama yang menggunakan istilah renaisans adalah Michelet. Para
sejarahwan biasanya menggunakan istilah ini untuk menunjuk berbagai periode
kebangkitan intelektual, khususnya di Eropa, dan lebih khusus lagi di Italia
sepanjang abad ke-15 dan ke-16. Renaisans adalah periode perkembangan peradaban
yang terletak di ujung atau sesudah abad kegelapan sampai muncul abad modern.
Renaisans merupakan era sejarah yang penuh dengan kemajuan dan perubahan yang
mengandung arti bagi perkembangan ilmu. Ciri utama renaisans yaitu humanisme,
individualisme, sekulerisme, empirisisme, dan rasionalisme.[35]
Ravertz menuturkan bahwa
kemajuan Islam pada abad 12 dengan peradaban yang lebih tinggi yang terdapat di
Spanyol dan Palestina dan sebagian lagi disebabkan perkembangan kota berbagai
kota dengan kelas atanya sangat memberikan pengaruh besar munculnya renaisans
ditengah-tengah abad gelap yang melanda Eropa.[36]
Dari pergaulan dengan peradaban Islam ini, muncullah karangan-karangan
spekulatif sederhana tentang filsafat ilmiah. Abad ke-13 menyaksikan berdirinya
universitas dan zaman kebesaran pengetahuan skolastik. Thomas Aquinas, seorang
teolog terkemuka dan Roger Bacon, penganjur metode eksperimental, termasuk
dalam zaman ini.[37]
Ilmu pengetahuan yang berkemang
maju pada masa ini adalah bidang astronomi. Tokoh-tokohnya yang terkenal antara
lain : Roger Bacon, Copernicus, Galileo Galilei. Bacon berpendapat bahwa
matematika meruakan syarat mutlak untuk mengolah semua pengetahuan. Sekalipun
ia menganjurkan pengalaman sebagai basis ilmu pengetahuan, namun ia sendiri
tidak meninggalkan tulisan atau karya yang cukup berarti bagi ilmu pengetahuan.[38]
Pendapat Copernicus berkenaan
di bidang astronomi yaitu bumi dan planet semuanya mengelilingi matahari,
sehingga matahari menjadi pusat (heliosentrisisme). Pendapat ini berlawanan
dengan pendapat umum yang berasal dari Hippaarchus dan Ptolomeus yang
menganggap bahwa bumi sebagai pusat alam semesta (geosentrisisme).[39]
Berkenaan dengan pendapat di
atas, Galileo Galilei menerima pendapat tentang prinsip tata surya yang
heliosentrisisme. Selain itu, ia membuat sebuah teropong bintang yang terbesar
pada masa itu dan mengamati bebeapa peristiwa angkasa secara langsung. Ia
menemukan beberapa peristiwa penting dalam bidang astronomi. Ia melihat planet
Venus dan Mercurius menunjukkan perubahan-perubahan seperti halnya bulan,
sehingga menyimpulkan bahwa planet-planet tidaklah memancarkan cahaya sendiri.[40]
Langkah-langkah yang dilakukan
oleh Galileo dalam bidang ini menanamkan pengaruh yang kuat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan modern, karena menunjukkan beberapa hal seperti : pengamatan (observation), penyingkiran (elimination), segalaa hal yang
tidak termasuk dalam peristiwa yang diamati, peristiwa tersebut, pengamalan (prediction), pengukuran (measurement), dan percobaan (experiment) untuk menguji teori
yang didasarkan pada ramalan matematik.[41]
4. Ilmu pada Zaman Modern (17-19 M)
Perkembangan ilmu pengetahuan
pada zaman modern ini sesunguhnya sudah dirintis pada masa Ranaissance, yaitu
pada abad XIV, dan dimatangkan oleh ‘gerakan’ Aufklaerung di abad ke-18. Di
dalamnya ada dua indikasi yaitu, pertama,
semakin berkurangnya kekuasaan Gereja, kedua, semakin bertambahnya kekuasaan ilmu pengetahuan.[42]
Sehingga dengan demikian, membawa benua Eropa sebagai basis perkembangan ilmu
pengetahuan.
a. Abad ke-17 sampai 18 (abad klasik-Aufklaerung)
Pada abad ke-17 terjadi
perumusan kembali yang radikal terhadap objek-objek dan fungsi-fungsi
pengetahuan alamiah. Pada abad ini, wacana epistemologi pada ilmu pengetahuan
mendapat perhatian penting dalam sejarahnya. Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan yang bersifat epistimologis ini, maka dua aliran filsafat
yang memberikan jawaban berbeda, bahkan saling bertentangan. Aliran filsafat
tersebut ialah rasionalisme dan emperisme.[43]
Menjelang abad k-18, mulailah
revolusi industri yang mentransformasikan Eropa dari masyarakat agraris menjadi
masyarakat perkotaan; pada akhir abad inilah terjadi Revolusi Perancis,
aktivitas ilmu mengalami perubahan-perubahan yang sedemikian rupa. Gaya dominan
ilmu di zaman revolusi adalah matematis. Dalam penerapannya, metode-metode yang
digunakan beruapa rasionalisasi
Selanjutnya tokoh penemu di
bidang sains pada zaman modern, khususnya pada abad ke-17-18 M, yaitu : Sir
Isaac Newton (1643-1727 M), Leibniz (1646-1716 M), Joseph Black (1728-1799 M),
Joseph Prestley (1733-1804 M), Antonie Laurent Lavoiser (1743-1794 M), dan J.J.
Thompson (1897 M). Newton adalah penemu teori gravitasi, perhitungan calculus,
dan optika yang mendasari ilmu alam. Pada masa Newton, ilmu yang berkembang
adalah matematika, fisika, dan astronomi. J.J. Thompson menemukan elektron.
Dengan penemuannya ini, maka runtuhlah anggapan bahwa atom adalah bahan
terkecil dan mulailah ilmu baru dalam kerangka kimia-fisika yaitu fisika
nuklir. [44]
b. Abad ke-19
Selama abad ke-19,
bangsa-bangsa industri maju Eropa membaurkan akibat-akibat revolusi industri
dengan revolusi Perancis. Satu demi satu disiplin ilmiah mengalami kemajuan
serupa dalam pencapaian sistem yang sistematis dan dalam penciptaan
lembaga-lembaga pengembangan aktivitas ilmiah.
Abad ke-19 merupakan abad emas
dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Ilmu meluas menjadi bidang-bidang
penelitian dan sangat berhasil. Perluasan itu meliputi penggabungan matemaika
dengan eksperimen fisika, penerapan teori kepada eksperimen dalam kimia, dan
eksperimen yang terkendali dalam biologi.[45]
Edisi-edisi Encyclopedia Britannica yang
terbit di penghujung abad ini, dengan paparan historisnya yang panjang mengenai
tiap ilmu, adalah monumen bagi abad ini dan merupakan sumber informasi yang
sangat berharga bagi para pelajar.[46]
Perkembangan ilmu pada abad ke-18 telah melahirkan ilmu seperti taksonomi,
ekonomi, kalkulus, dan statistika, sementara pada abad ke-19 lahirlah
pharmakologi, geofisika, geomophologi, palaentologi, arkeologi, dan sosiologi.
Pada tahap selanjutnya, ilmu-ilmu zaman modern memengaruhi perkembangan ilmu
zaman kontemporer.
5. Ilmu pada Zaman Kontemporer
Zaman kontemporer adalah era
perkembangan terakhir yang terjadi dari abad 20-an hingga sekarang.
Perkembangan ilmu di zaman ini mengalami kemajuan pesat, sehingga spesialisasi
ilmu semakin meningkat. Hampir seluruh bidang ilmu dan teknologi, ilmu-ilmu
sosial seperti sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, hukum, dan politik
serta ilmu-ilmu eksakta seperti fisika, kimia, dan biologi serta
aplikasi-aplikasinya di bidang teknologi rekayasa genetika, informasi, dan
komunikasi.
Menurut sejumlah pengamat perkembangan
ilmu pengetahuan bahwa zaman kontemporer identik dengan rekonstruksi,
dekonstruksi, dan inovasi-inovasi teknologi di berbagai bidang. Sasaran
rekonstruksi dan dekonstruksi biasanya teori-teori ilmu sosial, eksakta, dan
filsafat yang ada sudah ada sebelumnya,[47]
sementara inovasi-inovasi teknologi semakin hari semakin cepat seperti yang
kita saksikan dan nikmati sekarang ini. Teknologi merupakan buah dari
perkembangan ilmu pengetahuan yang dikembangkan dari generasi ke generasi.
Komputer merupakan hasil pengembangan dari perkembangan listrik (elektronika)
yang pada awal penemuannya oleh Faraday belum diketahui kegunaannya. Penemuan
bola lampu oleh Edison disusul oleh penemuan radio, televisi, dan komputer.[48]
Dari komputer berkembang ke PC (private computer), lap top, dan terakhir
simuter yaitu komputer jenis PDA (personal digital assistans).[49]
Perkembangan IPTEK pada zaman
ini ditandai oleh adanya rentetan temuan-temuan baru seperti temuan tentang
listrik (Michael Faraday), gaya elektromagnetik (James Clerk Maxwell, 1870)
dalil temuan Sinar-X (Henry Bacquerel). Dengan adanya penemuan tersebut maka
banyak masalah praktis dalam kehidupan manusia yang dapat diselesaikan dengan
cepat dan tepat.[50]
Di awal zaman kontemporer ini,
ilmu pengetahuan banyak dihasilkan oleh ilmuan Barat. Hal ini mulai
mencuat ketika Barat berhasil menciptakan born atom yang dianggap merupakan
salah satu “produk gemilang” IPTEK, dan menelan korban ratusan ribu jiwa
manusia di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945.[51]
Namun seiring dengan waktu
berjalan, peredaran ilmu pengetahuan mulai tidak saja berkiblat ke Barat saja,
tetapi kini ilmu pengetahuan mulai dikembangkan di berbagai Negara, khususnya
Negara-negara Asia, seperti Jepang, Cina, Korea, India, dan Iran. Bahkan,
Jurnal Newscientist memuat hasil penelitian Science-Metrix, sebuah perusahaan
di Motreal, Kanada yang melakukan evaluasi atas perkembangan dan produk ilmu
pengetahuan serta teknologi di berbagai negara. Dalam laporan hasil
penelitiannya, Science-Metrix menyebutkan bahwa kemajuan ilmu pengetahuan di
negara Iran sebelas kali lebih cepat dibandingkan negara-negara lainnya di
dunia. Perusahaan itu mengamati adanya “pergeseran geopolitis dalam bidang ilmu
pengetahuan dan karya” yang dihasilkan negara-negara di dunia. Menurut
Science-Metrix, banyaknya karya-karya ilmiah yang dimuat di Web of Science menunjukkan
bahwa standar pertumbuhan karya ilmiah di Timur Tengah, khususnya di Iran dan
Turki, nyaris mendekati angka empat kali lebih cepat dari rata-rata pertumbuhan
di dunia.
http://ayieffathurrahman.wordpress.com/2011/01/12/perjalanan-t0ngkat-estafet-ilmu-pengetahuan-dari-mitos-ke-logos/